Secara umum dapat dikelompokkan dua paradigma berpikir serba sistem yaitu serba sistem keras (hard system thinking)dan berpikir serba sistem lunak (soft system thinking). Keduanya memiliki kesamaan terkait dengan ide dasar tentang sistem dan serba sistem, yakni bukan sebagai suatu onggokan (the whole) melainkan keseluruhan yang adaptif (adaptive wholes) yang memiliki ciri emergent property, yaitu kapasitas untuk mewujudkan tujuan keseluruhan, struktur berlapis, interkorelasi dan komunikasi, serta monitoring dan kontrol. Tetapi keduanya juga memiliki pandangan yang berbeda secara fundamental.
Hard system thinking berakar pada paradigma kempleksitas sederhana (simple complexity) di mana serba sistem dunia nyata itu terstruktur dengan baik (well structured) dan dapat direkayasa menjadi banyak subsistem, dan seterusnya. Struktur sistemik yang berlapis ini sifatnya salinginter-relasi dan inter-komunikasi, dengan orientasi untuk mewujudkan sasaran keseluruhan secara sistematik. Dan karena itu, sebuah sistem merupakan imitasi sekaligus model dari dunia nyata itu sendiri (ontologi). Analisisnya bersifat outsider, tidak mempedulikan sudut pandang manusia, dan tidak berurusan dengan tipologi serba sistem aktivitas manusia.
Sementara itu soft system thinking berpandangan bahwa situasi pada dunia nyata apapun ditandai oleh ciri yang sama, yaitu setiap orang dalam peran sosialnya masing-masing berkehendak untuk melakukan aktivitas yang punya maksud (purposeful activity) dalam rangka perwujudan tujuan entitas dunia nyata tersebut. Kehendak untuk melakukan aktivitas yang punya maksud ini dibedakan dengan tindakan yang didasarkan pada naluri semata (purposive action). Situasi pada dunia nyata apapun ditandai oleh jalinan aktivitas yang punya maksud yang saling terhubung dan koheren, yang dikonstruksikan sebagai serba sistem aktivitas manusia (human activity system) atau holons.
Soft system methodology (SSM), yang dikembangkan oleh Peter Checkland dan koleganya, berangkat dari pandangan soft system thinking seperti ini dan berakar pada paradigma kompleksitas penuh, di mana serba sitem dunia nyata itu bersifat ruwet (messy), tidak terstruktur (ill-structured), dan karena itu hanya dapat dieksplorasi melalui suatu sistem pembelajaran, sekaligus memperlakukan dan memodelkan tipologi sistem aktivitas manusia di tengah proses pencarian sosialnya (social inquiry). Model dalam SSM merupakan alat intelektual guna memahami situasi dunia nyata yang dianggap prablematis (epistemologi). Analisisnya bersifat insider, dengan sepenuhnya mengolah sudut pandang manusia, dan hanya berurusan dengan satu-satunya tipologi serba sistem, yaitu serba aktivitas manusia.

Soft System Methodology
Sudarsono Hardjosoekarto
Secara umum dapat dikelompokkan dua paradigma berpikir serba sistem yaitu serba sistem keras (hard system thinking)dan berpikir serba sistem lunak (soft system thinking). Keduanya memiliki kesamaan terkait dengan ide dasar tentang sistem dan serba sistem, yakni bukan sebagai suatu onggokan (the whole) melainkan keseluruhan yang adaptif (adaptive wholes) yang memiliki ciri emergent property, yaitu kapasitas untuk mewujudkan tujuan keseluruhan, struktur berlapis, interkorelasi dan komunikasi, serta monitoring dan kontrol. Tetapi keduanya juga memiliki pandangan yang berbeda secara fundamental.
Hard system thinking berakar pada paradigma kempleksitas sederhana (simple complexity) di mana serba sistem dunia nyata itu terstruktur dengan baik (well structured) dan dapat direkayasa menjadi banyak subsistem, dan seterusnya. Struktur sistemik yang berlapis ini sifatnya salinginter-relasi dan inter-komunikasi, dengan orientasi untuk mewujudkan sasaran keseluruhan secara sistematik. Dan karena itu, sebuah sistem merupakan imitasi sekaligus model dari dunia nyata itu sendiri (ontologi). Analisisnya bersifat outsider, tidak mempedulikan sudut pandang manusia, dan tidak berurusan dengan tipologi serba sistem aktivitas manusia.
Sementara itu soft system thinking berpandangan bahwa situasi pada dunia nyata apapun ditandai oleh ciri yang sama, yaitu setiap orang dalam peran sosialnya masing-masing berkehendak untuk melakukan aktivitas yang punya maksud (purposeful activity) dalam rangka perwujudan tujuan entitas dunia nyata tersebut. Kehendak untuk melakukan aktivitas yang punya maksud ini dibedakan dengan tindakan yang didasarkan pada naluri semata (purposive action). Situasi pada dunia nyata apapun ditandai oleh jalinan aktivitas yang punya maksud yang saling terhubung dan koheren, yang dikonstruksikan sebagai serba sistem aktivitas manusia (human activity system) atau holons.
Soft system methodology (SSM), yang dikembangkan oleh Peter Checkland dan koleganya, berangkat dari pandangan soft system thinking seperti ini dan berakar pada paradigma kompleksitas penuh, di mana serba sitem dunia nyata itu bersifat ruwet (messy), tidak terstruktur (ill-structured), dan karena itu hanya dapat dieksplorasi melalui suatu sistem pembelajaran, sekaligus memperlakukan dan memodelkan tipologi sistem aktivitas manusia di tengah proses pencarian sosialnya (social inquiry). Model dalam SSM merupakan alat intelektual guna memahami situasi dunia nyata yang dianggap prablematis (epistemologi). Analisisnya bersifat insider, dengan sepenuhnya mengolah sudut pandang manusia, dan hanya berurusan dengan satu-satunya tipologi serba sistem, yaitu serba aktivitas manusia.