Public Leader Society Forum

[rad_page_section id=’rpsFX4DKGL3RXMPA0YU52NF9Q5BHS6PY9YS’ first=’true’ last=’true’ section_name=’Section’ v_padding=” classes=” visibility=’None’ background_opts=” background_color=” background_image=” background_position=” background_cover=” background_repeat=” background_attachment=” background_gradient_dir=” start_gr=” end_gr=’#eeeeee’ video_url=” border_top_width=’0′ border_top_color=” border_top_type=” border_bottom_width=’0′ border_bottom_color=” border_bottom_type=” ][rad_page_container id=’rpcPXCX7V201O5WBM2D1C9LIURLN8INHYLA’ layout=’one_half’ first=’true’ top=’true’ classes=” visibility=’None’ float=’left’ background_opts=” background_color=” background_opacity=” background_image=” background_position=” background_cover=” background_repeat=” background_attachment=” background_gradient_dir=” start_gr=” end_gr=’#eeeeee’ border_top_width=’0′ border_top_color=” border_top_type=” border_bottom_width=’0′ border_bottom_color=” border_bottom_type=” ][rad_page_widget id=’rpwGQ54WBTSICMTCKB7WFCWNO2H4K6AXT29′ type=’rad_image_widget’ last=’true’ top=’true’ image=’https://labsosio.ui.ac.id/wp-content/uploads/2017/05/Ngajeni-Ngayemi.jpeg’ text_title=” link=” lightbox=’false’ text_caption=” width=’300′ height=” hoverc=” hoverbg=” clear_float=’no’ resizing=’none’ visibility=’none’ delay=’0′ title_color=” title_size=” title_w=” text_color=” ][/rad_page_widget][/rad_page_container][rad_page_container id=’rpcJM4TP78BU7MJUHH2OXMGT9R44EVO6PBW’ layout=’one_half’ last=’true’ top=’true’ classes=” visibility=’None’ float=’left’ background_opts=” background_color=” background_opacity=” background_image=” background_position=” background_cover=” background_repeat=” background_attachment=” background_gradient_dir=” start_gr=” end_gr=’#eeeeee’ border_top_width=’0′ border_top_color=” border_top_type=” border_bottom_width=’0′ border_bottom_color=” border_bottom_type=” ][rad_page_widget id=’rpwF08DOYRNFNLPFF1FBJ85BNKRYOCNSKY2′ type=’rad_text_widget’ last=’true’ top=’true’ text_title=’ Ngajeni Ngayemi’ text_subtitle=’ Inovasi Kebijakan Pendidikan Kreatif Dari Kabupaten Kudus’ rich_key=’text_data’ col_alignment=’left’ visibility=’big-fade-left’ delay=” clear_float=’no’ icon=” icon_margin=’5′ icon_alignment=’left’ icon_animation=’none’ title_color=” subtitle_color=” text_color=” title_size=” title_w=” subtitle_size=” subtitle_w=” text_size=” cb_margin=” ct_margin=” tt_margin=” st_margin=” tet_margin=” ]

Depok, 8 Mei 2017 – Inovasi  kebijakan  di  bidang  pendidikan  tidak  banyak  dilakukan  oleh  Pemerintah Daerah. Kalau pun ada, inovasi yang dilakukan masih  terbatas pada pembebasan biaya  pendidikan  dasar  dan  perbaikan  fasilitas  pendidikan.  Belum  pada pembentukan kebijakan yang dapat menjamin kualitas output secara berkelanjutan (sustainable). Acara ini diisi oleh Bupati H. Musthofa dan dibahas oleh panelis Prof. Iwan Gardono Sudjatmiko, Prof. Kamanto Sunarto, Imam B. Prasodjo, Ph.D, Dr. Meuthia Ganie Rochman, dan dimoderatori Prof. Paulus Wirutomo.

Pemerintahan  Kabupaten kudus  menempuh  jalan  yang  berbeda.  Di  bawah kepemimpinan  Bupati  H. Musthofa,  kudus  menjelma  menjadi  salah  satu  daerah yang  menerapkan  inovasi  pendidikan  berkelanjutan  di  Indonesia.  Kudus  adalah kabupaten  pertama  di  Indonesia  yang  menerapkan  kebijakan  wajib  belajar  12 tahun. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh Presiden Joko Widodo dan dijadikan program nasional.

Bupati  H.  Musthofa  mengadopsi  filosofi  Gusjigang  (Bagus,  Ngaji,  Dagang)  yang diajarkan  oleh  Sunan  Kudus  dan  dilakoni  oleh  masyarakat  Kudus.  Filosofi  ini membentuk mental  bahwa  orang  kudus  harus memiliki  akhlak  dan mental  yang bagus,  tekun  belajar  (ngaji)  dan  berjiwa  mandiri  (dagang).  Musthofa  percaya apabila filosofi  tersebut diterapkan dalam sistem pendidikan, maka sekolah akan menghasilan generasi yang ngajeni dan ngayemi (memanusiakan dan mengayomi sesama).

Musthofa juga menerapkan strategi yang berbeda. Jika sebagian besar daerah lebih fokus pada pendidikan umum, ia melakukan revitalisasi sekolah-sekolah kejuruan di  Kudus.  Tujuannya,  sekalipun  pelajar-pelajar  di  Kudus  tidak  menempuh pendidikan tinggi, tapi mereka punya kualitas terbaik untuk bersaing di dunia kerja. Selain  itu,  Musthofa  juga merancang  sistem  yang  memungkinkan  pihak  swasta berkontribusi  maksimal  bagi  peningkatan  kualitas  pendidikan  di  Kudus.  Bupati  Kudus ini memiliki kontribusi dalam menjembatani dan menata hubungan antara pasar  tenaga  kerja  dan  masyarakat.  Di  tengah  berkembangnya  industri  kreatif Indonesia,  tidak  banyak  pemerintah  daerah  mengambil  peran  tersebut.  Bagi Musthofa,  pemerintah  harus  memberikan  pemberdayaan  dalam  bentuk keterampilan  yang  memiliki  nilai  lebih  kepada  masyarakat.  Ketika  pemerintah daerah  lain  lebih  banyak  membahas  upah  minimum  rata-rata  (UMR),  Musthofa malah mendorong masyarakatnya agar mampu untuk memiliki kerja yang bernilai di atas UMR.

Berkat  keterlibatan  swasta  dan  visi  pemerintah  daerah,  pelajar  Kudus  dikenal dengan kreatifitas yang tinggi. Kudus memiliki sejumlah sekolah kejuruan yang tidak dimiliki daerah lain  termasuk kota besar seperti Surabaya dan  Jakarta. Meskipun tidak memiliki wilayah laut, Kudus memiliki  sekolah pelayaran yang  sangat maju, dilengkapi  dengan  simulator  digital  dengan  kualifikasi  internasional.  Kudus  juga memiliki sekolah kejuruan tata busana (fashion) yang bahkan sudah memasarkan brand produk  busana  sendiri.  Sekolah  kejuruan  animasi  di  Kudus,  sudah menghasilkan  animasi  3D  yang  diputar  di  bioskop.  Alumni  sekolah  animasi  ini menjadi rebutan berbagai rumah produksi besar termasuk di manca negara.

 

[/rad_page_widget][/rad_page_container][/rad_page_section]


Posted

in

,

by