Website LABSOSIO FISIP UI

Bedah Buku “Dilemmas of Populist Transactionalism”: Tantangan Demokrasi dalam Era Populisme

Buku Dilemmas of Populist Transactionalism yang ditulis oleh Olle Tornquist dan Luky Djani, bersama dengan Osmar Tanjung dan Surya Tjandra mengulas tentang dinamika politik kontemporer yang ditandai oleh kemunculan dan penguatan aktor-aktor populis dalam sistem demokrasi modern. Fenomena ini mencerminkan ketegangan mendalam antara representasi politik formal dan klaim moral populis untuk berbicara atas nama “rakyat”.

Populisme dan Post-Demokrasi

Dalam konteks post-democracy, muncul masalah relasi asimetris antara rakyat dan wakil-wakil yang mereka pilih. Ketika institusi representatif lemah atau gagal dalam merespons aspirasi publik, populisme menjadi kemungkinan permanen dalam lanskap politik (Crouch, 2019; Roberts, 2013).

Menurut Jan-Werner Müller (2016), populisme memunculkan klaim moral bahwa sebagian kelompok bisa merepresentasikan keseluruhan rakyat, yang pada akhirnya menghilangkan pluralisme. Namun, Ernesto Laclau (2005) justru melihat nilai politik populisme dalam kemampuannya mengartikulasikan keragaman kelompok-kelompok minoritas yang tertindas sebagai bagian dari mayoritas.

Ketika Populis Berkuasa

Populis yang berada di puncak kekuasaan cenderung mempertahankan retorika krisis dan polarisasi sebagai strategi kekuasaan. Kecenderungan praktik-praktik populis di antaranya:

  • Menguasai institusi negara sebagai representasi moral rakyat;
  • Klientelisme massal untuk meraih dukungan politik;
  • Legalitas diskriminatif yang menguntungkan kelompok mayoritas dan sambil mengecualikan minoritas;
  • Menekan organisasi masyarakat sipil yang mengkritik kekuasaan mereka.

Kondisi ini menciptakan ruang publik yang tertutup terhadap kritik dan mereduksi demokrasi menjadi sekadar formalitas.

Populisme Radikal Kanan

Dalam versi ekstrem, populisme radikal kanan (Mudde, 2017) menggabungkan unsur nasionalisme sempit (nativisme), otoritarianisme, dan populisme sebagai ideologi politik. Mereka menggunakan retorika neoliberal maupun welfare chauvinism untuk menggaet berbagai kelas sosial, bahkan yang memiliki kepentingan ekonomi bertolak belakang.Pada titik ini, bentuk pemerintahan yang dihasilkan cenderung menyerupai ethnocracy—suatu sistem yang menentang nilai-nilai demokrasi liberal seperti perlindungan terhadap minoritas, solidaritas, dan keadilan sosial.

Menggugat Oligarki Populis

Menggulingkan rezim populis bukan perkara mudah. Negara dengan rezim seperti ini bersifat polymorphous (berwajah banyak), disertai dengan jaringan kekuasaan formal dan informal yang saling menopang. Menurut Jessop (2010), strategi ini memanfaatkan:

  • Akumulasi berbasis negara untuk pertumbuhan ekonomi,
  • Proyek internal untuk memperkuat negara secara institusional,
  • Visi hegemonik untuk membentuk konsensus sosial-politik.

Tingkah laku politik anti-sistem dalam konteks ini bukan untuk mereformasi, tetapi untuk menggulingkan sistem yang ada.

Dampak Populisme terhadap Demokrasi

Populisme memiliki dampak yang ambivalen terhadap demokrasi. Di satu sisi, populisme dapat meningkatkan akuntabilitas politik dan keterlibatan kelompok yang terpinggirkan, dan meningkatkan sensitivitas sistem politik terhadap aspirasi rakyat. Akan tetapi, populisme juga bisa mengikis perlindungan hak-hak minoritas atas nama kedaulatan rakyat, menghambat pembentukan koalisi politik yang stabil, serta menyulitkan kompromi dan meradikalisasi arena politik.